Sabtu, 08 Desember 2012
Jumat, 07 Desember 2012
Minggu, 02 Desember 2012
Tusuk Konde Sang Penari
TUSUK KONDE SANG PENARI
Angin senja terasa begitu lembut dan sejuk membawa aroma wangi kembang dan
dupa di sepanjang jalan. Lembayung senja memancarkan sinarnya yang keemasan tuk
menyambut datangnya malam. Samar-samar sang dewi malam mulai muncul dari balik
awan. Purnama yang begitu sempurna dan indah melengkapi kebahagiaan hati
seorang perawan ayu.
”Made....!” suara itu membuyarkan lamunannya.
”Sedang apa kau disini?” Aku sedang menikmati indahnya purnama sidi, sesaat
mereka duduk berdampingan di beranda.
”De.... bukankah malam ini kamu ada pentas?”
”Astaga... jam berapa ini?” Made tersentak kaget, tanpa mempedulikan
Shanty, Made bergegas masuk, membereskan semua kostum tarinya. Secepat kilat
Made melarikan mobilnya menuju sanggar. Wez.z.z.z.z. Angin semakin dingin menusuk. Kemudian Shanty
bergegas masuk. Dirapikannya kembali meja rias Made yang berantakan, begitu
kagetnya ia ketika melihat sebuah tusuk konde Made tercecer di lantai. Dipungutinya tusuk konde itu dan diletakkannya kembali di meja rias.
Terengah-engah Made memasuki ruang rias sanggar.
”Kenapa kau baru datang Made...?”
Satu jam lagi kamu harus sudah siap...! Seorang perias menyambar tangannya.
Dengan gesit perias itu mendandani Made, rambutnya yang panjang, hitam kelam
tersanggul rapi, tapi betapa paniknya ia ketika tak menemukan tusuk kondenya di
dalam tas make up nya.
”Ya... Tuhan, tusuk kondeku ketinggalan...!! Sang perias juga sempat
uring-uringan. Made sempat bingung, dibukanya lagi laci-laci kecil di ruang
rias itu. Ia berharap kalau-kalau ada tusuk konde yang tertinggal. Made lega,
bisa menemukan tusuk konde tapi bukan dari di antara laci-laci itu, tapi ia
menemukannya tertancap di pintu almari sebagai pengunci. Diambilnya tusuk konde
itu hingga pintunya sedikit terbuka.
Pertunjukan seni mulai digelar. Suara dan tepukan tangan begitu riuh
tatkala Made memulai membawakan tariannya dengan lincah dan begitu memukau.
Senyum tipis tersinggung di bibirnya yang merah dan mungil, hingga semua
penonton terpukau.
Purnama makin meninggi, sinarnya menerobos lewat celah dedaunan menerpa
panggung pagelaran. Waktu bergulir terasa cepat dan malam semakin larut,
pagelaran senipun telah berakhir. Made segera membongkar riasannya dan berganti
pakaian, sambil melepas tusuk konde ia berfikir...
”Kenapa tusuk konde sebagus ini hanya pengunci pintu almari yang setua
ini...?”
Ketika ia hendak kembali mengunci pintu almari itu, ia terkesima dengan
sebuah lukisan di dalam almari itu. Seorang wanita ayu yang mengenakan pakaian
tari dan tusuk konde yang sama seperti yang ia kenakan tadi. Sesaat Made
mengamati tusuk konde itu.
”Apakah tusuk konde ini milik wanita ayu yang ada dalam lukisan itu, tapi
kenapa tusuk konde itu bisa berada disini? Terus siapa wanita ayu dalam lukisan
itu?” Begitu banyak pertanyaan yang ada dalam hatinya, hingga dalam perjalanan
pulang pun ia masih tetap saja memikirkan hal itu. Rasa capek, kantuk, tak
dapat lagi ia tahan. Sesaat kemudian, Made sudah terlelap dalam tidurnya.
Dingin.... dan begitu sunyi, desiran angin membuat suatu irama yang indah
saat daun-daun bergesek, wangi dupa dan kembangpun terasa begitu menyengat.
Sayup-sayup Made mendengar seorang wanita memanggil-manggil namanya. Wanita itu
hadir dalam mimpinya. Dia mengenakan pakaian tari. Wajahnya yang tampak pucat
tak seulas senyumpun tersungging, tidak seperti di dalam lukisan yang ia lihat
tadi.
Kring....kring.....kring. Made tersentak bangun ketika jam wekernya
berdering. Tubuhnya basah oleh keringat dan kepalanya terasa berat. Dilihatnya
segelas susu dan sepotong roti di samping meja rias, dalam hati ia bertanya,
kenapa Shanty tidak membangunkannya, kemudian ia menemukan sebuah memo di meja
riasnya.
”De.... maaf, aku tidak membangunkanmu karena kulihat kamu terlau capek dan
pagi ini aku ada janji bertemu dengan klien.”
Kemudian Made bergegas mandi dan berendam mencoba untuk melupakan mimpi
itu. Dengan mengenakan kain sarung dan kebaya, Made menyusuri jalan berbatu
menuju Pure. Sekuntum kembang kamboja terselip di kupingnya dan rambutnya yang
hitam panjang dibiarkan tergerai. Ia mengikuti prosesi sembahyang dengan
khusyuk dan di tengah-tengah doa, tiba-tiba mimpi yang ia alami semalam muncul
lagi dalam benaknya. Tapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan tentang mimpi
itu kepada siapapun termasuk Shanty sahabat karibnya.
Berhari-hari ia dihantui dengan rasa ingin tahu tentang tusuk konde dan
lukisan itu. Dan hampir setiap malam, wanita itu hadir dalam mimplinya. Tapi
berbeda dengan hari sebelumnya. Kali ini ia memimpikan wanita itu
menghampirinya dengan mata melotot, dan telunjuk kirinya menuding-nuding ke
wajah Made. Merasa tak sanggup lagi menahan cerita itu, keesokan harinya,
akhirnya ia menceritakan kepada Shanty.
”San... sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang ini kepadamu”.
”O... jadi itu yang membuatmu bersikap aneh dan sering melamun belakangan
ini?”.
”Ya... begitulah ceritanya, dan aku juga tak tahu siapa ia sebenarnya.”
”De...apa mungkin ini juga ada hubungannya dengan kesurupan kamu tempo
hari? Dan belakangan ini setiap kali kamu pulang dari sanggar, kamu selalu terlihat
murung, terkadang juga marah-marah tidak
jelas.”
Shanty menimpali cerita Made dan menghela nafas panjang,karena tidak tahu
apa yang harus dilakukan untuk menolong sahabatnya itu.
”San.. sore ini kamu mau menemani aku jalan-jalan?”
”Tentu saja De...” sahut Shanty.
Mereka berjalan melewati jalan setapak penuh dengan ilalang tumbuh di kanan
kiri ketika tiba di sebuah tikungan. Made melihat satu sosok wanita tua yang
tidak asing lagi baginya. Ia membawa seikat bunga mawar putih dan kemudian Made
menegurnya.
”Mau kemana Nyi?” suara Made menghentikan langkah Nyi Galuh Parwati.
Seorang wanita tua yang telah lama ia kenal di sanggar.
”Eh... ni Made, ini saya mau ke makam Nyi Mas Ayu Sekarwati dan Tuan Van
Der Hock.”
Sesaat Made mengernyitkan kening, setahu Made, Nyi Galuh tidak mempunyai
anak, lantas siapa Ni Mas Ayu? Dan siapa pula Tuan Van Der Hock itu? Dan apa
hubungan mereka?
Satu pertanyaan lagi bercokol dalam pikirannya. Keesokan harinya, Made
menyempatkan diri menemui Nyi Galuh di rumahnya. Nyi Galuh bergegas membuka
pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi, dan langsung tersenyum ketika
tahu Made yang bertamu. Nyi Galuh mempersilahkan masuk dan duduk, sesaat
kemudian Nyi Galuh sudah membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan
sepiring pisang goreng. Nyi Galuh mulai membuka pembicaraan.
”Tumben sekali Nyi Made datang ke rumah saya, kok wajah Nyi Made juga
terlihat kusut, apa Nyi Made punya masalah? Apa ada yang bisa saya bantu?” Made
bingung harus mulai darimana untuk mengawali cerita itu. Sepatah demi sepatah
kata mulai bercerita.
”Nyi, saya ingin tahu siapa sebenarnya Nyi Mas Ayu Sekarwati dan siapa pula
Tuan Van der Hock itu?”.
Sejenak Nyi Galuh hanya terdiam. Tapi Nyi Galuh tak tega melihat reaksi
wajah Made yang semakin kusut. Perempuan itu akhirnya bercerita.
”Sebenarnya aku tak ingin menceritakan hal ini kepada setiap orang. Karena iyungku
dulu berjanji untuk menjaga rahasia itu”. Meski usia Nyi Galuh sudah cukupl
tua, namun ingatannya masih tetap baik.
”Dulu iyungku juga seorang pelayan sanggar sepertiku, beliau melayani semua
keperluan penari-penari di sanggar dan hubungan Ni Mas Ayu dengan iyungku cukup
dekat. Ni Mas Ayu penari yang sangat cantik, dia juga baik hati. Sampai
akhirnya seorang opsir Belanda jatuh hati kepadanya. Mereka pasangan yang
sangat serasi. Tuan Van der Hock orangnya sangat gagah, dan juga tampan,
rambutnya pirang dan sedikit ikal. Tuan Van der Hock memberikan barang-barang
mewah kepadanya dan seperangkat pakaian tari yang paling ia sukai, dan masih
tersimpan di sanggar. Juga sebuah lukisan Ni Mas Ayu yang ia lukis sendiri.
Tuan Van der Hock juga berencana menikahi Ni Mas Ayu dan akan membawanya pulang
ke negerinya. Tapi ada salah seorang teman Ni Mas Ayu yang tidak suka dengan
hubungan mereka. Hingga akhirnya Tuan Van der Hock dijebak.
Suatu malam pagelaran, Ni Mas Ayu datang terlambat dan ia melihat Tuan Van
der Hock telah mabuk dan bermesraan dengan teman Ni Mas Ayu. Padahal Tuan Van
der Hock sudah berjanji untuk tetap setia dan tidak akan mabuk-mabukan lagi.
Melihat kejadian itu, Ni Mas Ayu langsung naik pitam, diloloskan tusuk konde
dari rambutnya dan ditusukkan tepat didada kiri kekasihnya. Kemudian Tuan Van
der Hock tak sadarkan diri dan akhirnya meninggal. Sedangkan tusuk konde itu
entah dimana. Aku juga belum pernah melihatnya. Sejak saat itu hidup Ni Mas Ayu
terasa hampa. Dia tak pernah lagi datang ke sanggar, apalagi membawakan tarian.
Senyum manisnya telah hilang terkubur bersama kekasihnya. Wajahnya selalu
muram. Hingga suatu hari ia berpesan kepada iyungku, jika ia mati dia ingin
dikubur disisi kekasihnya dan sebelum tusuk konde itu dia temukan, dia tidak
mau diperabukan. ”Jelas Nyi Galuh kepada Made”.
”Nyi, saya pernah melihat lukisan dalam almari tua yang ada di paling
ujunga, dan anehnya almari tua itu tidak ada kuncinya. Hanya rantai kuningan
yang dipasak sebuah tusuk konde”. Ada perasaan lega di hati Made, setidaknya
dia telah menemukan titik terang tusuk konde itu.
”Nyi, apakah selama ini Nyi Galuh pernah memasuki kamar rias sanggar? ”
tanya Made ingin tahu.
”Ya.. pernah tapi saya tidak pernah memperhatikan barang-barang disana.
Saya hanya pelayan luar, mana bisa saya keluar masuk kamar rias seenaknya.
Rasanya Nyi Galuh menolong Made tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Kemudian
Made mencari cara bagaimana agar Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias, tanpa ada
orang yang curiga. Made membisikkan cara itu ke telinga Nyi Galuh, dan Nyi
Galuh mengangguk setuju.
Dua hari kemudian, Made pentas lagi. Made datang agak terlambat dengan
harapan rencananya berhasil. Setengah jam sebelum pagelaran dimulai, Made
pura-pura pingsan, dengan begitu Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias dan
pura-pura memberikan obat. Ketika Nyi Galuh masuk, Made mengerdipkan mata dan
memberi kode untuk membuka almari itu. Sementara yang lain sibuk sendiri. Tusuk
konde itu dicabutnya dari mata rantainya dan almari sedikit terbuka lebar.
Disebelah lukisan itu tertumpuk seperangkat pakaian tari dengan rapi. Perlahan
Nyi Galuh mengeluarkan lukisan itu dari dalam almari. Dia melihat jelas tulisan
”Ni Mas Ayu” dalam lukisan itu. Setelah selesai mengamati lukisan, Nyi Galuh
segera menutup almari dan menguncinya lagi dengan tusuk konde itu.
”Kamu benar Made, lukisan itu memang lukisan Ni Mas Ayu. Sama persis dengan
foro yang ada di rumahku. Kemudian Nyi Galuh segera bergegas keluar dan Made
masih tetap terbaring hingga pagelaran usai.
Hati Made terasa lega sambil mengemasi pakaiannya. Made merencanakan
sesuatu sebelum meninggalkan sanggar. Made sempat menghampiri Nyi Galuh untuk
mengatakan rencana selanjutnya.
”Tapi apa tidak akan jadi pertanyaan jika tusuk konde itu kita ambil Nyi
Made?”. Kemudian Nyi Galuh mengusulkan untuk membuat tusuk konde yang sama
untuk menggantikannya.
Tiga hari kemudian, tusuk konde itu sudah digantikan dengan duplikatnya.
Made memberikan tusuk konde itu kepada Nyi Galuh. Sesaat Nyi Galuh mengamati
dan mencocokkan pada foto yang ia punya.
”Benar, tusuk konde itu memang milik Ni Mas Ayu. Bertahun-tahun Iyungku
mencarinya. Tapi tak pernah ketemu, hingga beliau meninggal.
Ini adalah sekian kalinya Ni Mas Ayu hadir dalam mimpi Made. Kali ini Ni
Mas Ayu memohon kepada Made untuk segera mengadakan upacara Ngaben dan ia juga
meminta agar abu dan tusuk kondenya dibuang di Pantai Ubud dimana dulu Ni Mas
Ayu pertama kali bertemu dengan Tuan Van der Hock. Made mengikuti prosesi
upacara pembakaran jenazah dengan khidmat. Setelah itu, Ni Mas Ayu tidak pernah
hadir dalam mimpinya.
Hari-hari Made kembali terasa indah setelah pembakaran jenazah Ni Mas Ayu
dilaksanakan, segala aktivitas dilakukan dengan penuh semangat.
Seribu Kebohongan dalam Ketulusan Cinta
SERIBU
KEBOHONGAN
DALAM
KETULUSAN
CINTA
Sejenak ia ragu untuk melangkahkan kakinya, lama ia tertegun menatap
bangunan sekolah itu. Sesaat kemudian ia sudah melewati gerbang tinggi warna
bsi tempa. Semua bangunan itu bercat lime green, sejuk dan lembut angin menerpa
rambutnya yang panjang tergerai, tersungging satu senyuman dari bibirnya yang
tipis saat Lionel menyapanya.
“ Hai … Li. Sekolah di sini juga ?”
“ Eh … ya, Nel ”
Li-el dan Lionel teman SMP, mereka pernah satu kelas dulu, bahkan bisa
dibilang akrsb. Entah kenapa mereka bisa dipertemukan lagi di bangku SMA
mungkin ini satu takdir atau kebetulan, dan mereka saat ini juga ada di kelas
yang sama, hanya saja mereka tidak duduk satu meja karena ada peraturan yang
tidak memperbolehkan anak cewek duduk dengan cowok.
Masa-masa sulit saat orientasi mereka lalui bersama penuh dengan rasa
kekesalan, capek dan suka cita.
“ Li … Pisang merah apaan sich ? Aku ga bawa ”
“ Ya … aku tau, pasti kamu gak bakalan bawa, tapi tenang aja … Dah aku
bawa’in ”
“ Thank’s ea … Li ”
“Hu’um … ”
Seakan-akan memang mereka terlihat selalu bersama, kemanapun mereka
pergi, hingga banyak teman yang heran melihat kedekatan mereka, tapi mereka lebih
sering terlihat pergi ke perpustakaan, mungkin hanya untuk sekedar membaca atau
meminjam buku materi pelajaran.
Sore itu sepulang sekolah Li-el langsung masuk ke kamarnya, matanya
terpejam, ia letih … bahkan sangat letih, setiap jengkal tubuhnya terasa nyeri.
Ia mencoba merebahkan tubuhnya untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Ini
bagian akhir … ya … bagian akhir … irama detak jam membuainya. Ia berjanji akan
mengatakannya esok hari. Berdiri di depan cermin kamarnya dan menunduk
memandang permadani Victoria yang tak
bertepi. Angin sejuk bertiup pelan menyibak tirai jendela, membawa aroma
jasmine yang sedang mekar persis di bawah jendela kamarnya. Waktu pertama kali
ia bertemu lagi di sekolah itu, Ia yakin sudah sejak lama rasa cinta itu ada
dan tumbuh. Pada awalnya ia ragu, seperti berada diatas simpang jalan yang
begitu membingungkan. Bertanya- tanya mana yang lebih menyakitkan, kehilangan
seseorang yang kita cintai atau tak pernah memilikinya sama sekali.
Seperti gayanya menghadapi segala tantangan, Li-el menghadapinya dengan
santai dan ia sama sekali tak meras ragu.
Besok ia akan mendengar dan tau semua jawaban Lionel, lalu ia akan tau
akhirnya, kadang ia tersiksa oleh pikirannya, dan ia bosan terus memendamnya.
Ia merasa apapun yang terjadi pasti akan kuat seperti yang pernah ia alami dulu
saat cintanya dikhianati oleh Anggit.
Saat Lionel mengajaknya ke perpustakaan, ia pikir inilah saatnya tapi
seketika itu Li-el gemetar, tangannya dingin dan lidahnya kelu, tapi mereka
berdua tetap berjalan seiring di sela-sela rumput sekolah dan bercanda, tertawa
bersama, sementara kenangan bermunculan di benaknya, kenangan yang tak pernah
ia ingat tentang cinta pertamanya … dan tiba-tiba sekarang muncul.
“ Li-el … ? ”
“ Ya … Nel ? ”
Li-el menunduk, dan suara itu membuyarkan semua kenangannya tentang
Anggit, dalam hati Li-el berkata “ Ya … Tuhan aku mencintai Lionel tapi aku tak
bisa mengatakannya, aku tak mampu dan aku tak sanggup !!!
“ Li-el … kamu dengar aku ? ”
Lirih lionel kembali menyebut namanya
“ Ya … Nel, Kenapa ? ”
Li-el mengangkat wajahnya
“ Aku ingin katakan sesuatu ke kamu ”
“ Aaaa … ? ”
“ Aku mencintaimu, sejak dulu … sejak kita massih SMP ”. Li-el
tersentak kaget. Ya … Tuhan apa benar kami
saling mencintai.
“ Benarkah ??? Apa aku ga salah dengar Nel ??? ”
“ Ea … bener, kamu ga salah dengar kok, tapi kamu tau aku belum boleh
pacaran, apa kamu mau,apa kamu bisa menungguku ? ”
“ Ea … Nel, aku tau itu, aku rasa mungkin kita sama tapi aku akan
menunggumu sampe waktu itu tiba ”.
“ Apa kamu mau bersumpah untukku … Li ? ”
“ Itu pasti, Lionel … Aku janji ”.
Ketika sinar matahari membanjir masuk jendela keesokan harinya. Li-el
terbaring di ranjang, seperti dewi remaja, rambutnya menghampar diatas sprei seperti
bentangan sutra yang lembut dan halus, Li-el membuka sedikit matanya dan
tersentak “ Aku terlambat bangun !!! ” dan kemudian bergegas masuk kamar mandi,
ia pacu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku ingin cepat sampai sekolah dan
bertemu dengan Lionel hari ini, dalam hati ia berkata, sesaat kemudian ia
sampai di kelas dan melihat Lionel sudah ada di mejanya.
“ Hi … Li, aku pikir hari ini kamu gak berangkat ” seraya tersenyum dan
memperlihatkan sederetan giginya yang putih dan rapi.
“ Tadi aku terlambat bangun, Nel ”
“ O … ”
“ Nel … ”
“ Ya … napa ? ”
“ Aku gak peduli jika kau anggap ini konyol, kita sama-sama tau “N”
berusaha buat patuhi semua aturan Bokap “N” Nyokap kita untuk serius belajar
tanpa ada istilah pacaran, tapi bukankah kamu juga nyadar kalau kita dah gedhe.
Sebagi hukum alam kita pasti punya rasa ketertarikan ke lawan jenis tapi kita
juga bisa bedakan tentang hal yang baik dan buruk, So … kita pasti bisa menjaga
diri. Aku yakin kamu pahami maksud semua ini. Jujur aku ingin tetap bersamamu …
menunggu sampai waktu itu datang untuk kita. Jika cinta itu tetap ada di hatimu
nanti, tapi jika tiba-tiba cinta di hatimu pudar, aku ingin kau mengingat aku
sebagai teman baikmu tanpa ada rasa cela.
Saat ini jadilah kau orang yang paling special dihatiku yang bisa
memberi aku motivasi dan kekuatan untuk terus semangat belajar. Tetaplah jadi
cowok yang manis, yang gak aneh-aneh dan yang bisa au banggain. Sejuta tahun
dari sekarang, hatiku senantiasa bersamamu dengan segenap jiwa ”.
“ Li … apa kamu tau, aku juga ingin menjaga cinta kita sampai nanti ”
Entah dari mana dan kapan awalnya mereka sepakat jalani hubungan cinta
mereka, berjanji untuk saling percaya, saling mengerti, menjaga, menghormati,
dan yang pasti saling setia serta bertanggung jawab atas diri mereka
masing-masing dalam segala hal. Mereka tau mungkin ini terlihat berlebihan di
usia mereka yang masih dini, tapi siapa orangnya yang tak inginkan cintanya
terjaga sampai nanti esok tiba. Dan Li-el begitu menyadari kalau ia begitu
tulus mencintai Lionel dengan segenap hati dan jiwanya bukan karena Lionel anak
yang tajir dan ia juga tak pernah bisa membayangkan jika harus kehilangan
Lionel , Li-el gak mau kehilangan cinta “N” perhatian Lionel, ia yakin
Lionellah kekuatannya.
Hari itu sekolah pulang lebih awal dan Lionel mengajak Li-el jalan-jaln. Li-el tak pernah menyangka kalau
hari itu Lionel akan memberikan cincin untuknya.
“ Li … Aku ingin kamu menerima dan memakai cincin ini ”
“ Apa arti semua ini Nel … ??? ”
“ Ini untuk cinta kita, apa kamu mau … ??? ”
“ Ea … Nel, aku mau ”
Mereka berjalan berdua menyusuri sepanjang pertokoan dan itu menjadi
hari yang paling membahagiaakan buat Li-el dan mungkin tak akan pernah bisa ia
lupakan.
“ Nel … pulang yuk, aku capek ”
“ Ok … tapi aku ingin memperkenalkan kamu ma Bunda. Kamu mau kan Li ?
“ Tapi aku takut … Nel ”
“ Udah … tenag aja ”
Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Li- el kalau ternyata Bunda
Lionel bissa menerimanya, nahkan begitu baik dan perhatian pada Li-el.
“ Li … Tante punya bros buat kamu, dipake ya … ??? ”
“ Apa sich Tante, udah makasih, ga usah kok Tante ”
“ Li … ini buat kamu !!! ”
“ Ah … Tante, jadi ngepotin kan ??? Tapi … makasih ya Tan ”
“ Ea … ”
“ Ea … uadah Tante, Li-el pamit pulang dulu ya Tan ??? ”
“ Ea … ati-ati ya, sering-sering maen ke sini ya Li … ”
“ Ya … Tan, pasti ”
Jam berganti hari, hari berubah berganti minggu dan minggu menjadi buan
segalanya terasa begitu indah dan sempurna, sampai akhirnya Li-el sadar ada
seribu kebohongan yang Lionel simpan darinya. Semua berawal saat liburan tengah
semester. Lionel janji akan datang mengunjunginya satu hari nanti. Setiap hari
Li-el menunggunya dari mulai pagi datang sampai saat senja menjelang. Lionel
tak pernah menepati janjinya dalam hari-harinya Li-el selalu gelisah sampai
akhirnya ia terserang flue berat tapi ia tetap tak pedulikan keadaannya ia
hanya inginkan Lionel ada didekatnya. Tapi penantiannya hanyalah sia-sia sampai
liburan itu berakhir.
Bukan tau darimana, atau dari siapa bahwa Lionel telah membagi cintanya
saat itu, Tapi karena perasaan Li-el yang begitu kuat hingga dia tahu harus
bersikap bagaimana, Li-el yakin hatinya berkata benar dan ia putuskan untuk
mengakhiri kisah cinta mereka. Ia akan katakan semua ini nanti saat kembali
masuk sekolah.
“ Li … terdengar suara Isna memanggil namanya sambil berlari-lari kecil
”.
“ Hi … Is, napa ??? ”
“ Kamu ma Lionel baik-baik aja kan ??? ”
“ Maksudnya … ??? ”
“ Kalian ga lagi ada masalah kan ??? ”
“ Ea … kami baik-baik aja, mank napa sich Is ??? ”
“ Kemari aku lihat lionel jalan ma cewek lain, awalnya aku pikir itu
kamu Li ”
“ Kamu tau siapa dia Is … ??? Anak SMA sini juga ??? ”
“ Yang aku tahu namanya Linda, tapi bukan anak sini kok, kamu sabar
dulu Li … jangan terbawa emosi ”
“ Ea … aku tau Is, makasih ya buat infonya ”
Seketika itu hatinya sakit, ia hancur dan terluka ternyata apa yang ia
rasakan bener. Lionel telah membagi hatinya untuk orang lain.
“ Ya … aku harus bicara dengan Lionel sekarang juga !!! ”
“ Nel … aku nyadar ternyata begiytu tak berartinya aku dihatimu ”.
“ Maksud kamu apa sich Li ??? Aku gak ngerti !!! ”
“ Udahlah Nel … gak sah pake nge-les !!! ”
“ Aku tahu semuanya kok !!! ”
“ Tahu … apa ??? ”
“ Nel … apa se salahku, kesalahan sebesar apa yang udah aku buat ke
kamu sampe kamu tega nyakitin aku ??? ”
“ Apa … se Li ??? kamu ngomong apa ??? ”
“ Nel … cukup !!! aku tau kamu
dah bohongi aku selama ini, dari dulu aku dah bilang, kalau kamu mank dah bosen
ma aku, bilang aja terus terang !!! jangan selingkuhin aku seperti ini !!! ”
“ Kamu tau dari siapa see Li … ??? ”
“ Itu gak penting Nel !!! Kamu tega ya !!! padahal sedikitpun aku tak
pernah bohongi kamu pa lagi curangi kamu !!! ”
“ Li … maafin aku ”
“ Maaf … ??? kamu bilang maaf ??? semudah itu ??? ”
Ea … Nel aku tau, begitu tak sempurnanya aku dimata kamu !!! Cinta,
kasih sayang , perhatian, kesetiaan, kejujuran, dan ketulusan yang aku berikan
selama ini ternyata tak pernah ada artinya buat kamu. Aku memang begitu kecil
dimatamu hingga kau tak pernah bisa melihat apa yang telah aku buat untukmu.
“ Aku tanya Nel … siapa Linda ??? dan siapa lagi Ochin ??? ”
“ Aku … ”
“ Aku … apa, ??? ayo jawab !!! Kenapa cuma diem ??? ”
Begitu emosinya Li-el sampe ia ingin sekali menampar Lionel. Tapi
sesaat kemudian ia menurunkan nada bicaranya, ketika ia melihat setitik air
mata disudut mata Lionel, Ia gak tega melihatnya.
“ Maafin aku Lionel … tapi aku pikir memang lebih baik kita akhiri
kisah kita sampe disini., aku tak akan pernah menangis dan berharap untuk kau
cintai lagi. Tapi, satu yang harus kau ingat. Tak seorangpun yang akan
mencintai kamu sama sepertiku mencintaimu … siapapun dia Lionel !!!! ”
Untuk Bunda Lionel …
Bunda … maafin Li-el, yang mungkin selama ini sikap Li-el kurang sopan
atau terlalu merepotkan Bunda.
Li-el sayang Bunda …
Tapi Lionel lebih memilih yang
lain.
Bunda … Terimakasih untuk semuany
……… J
Langganan:
Postingan (Atom)