TUSUK KONDE SANG PENARI
Angin senja terasa begitu lembut dan sejuk membawa aroma wangi kembang dan
dupa di sepanjang jalan. Lembayung senja memancarkan sinarnya yang keemasan tuk
menyambut datangnya malam. Samar-samar sang dewi malam mulai muncul dari balik
awan. Purnama yang begitu sempurna dan indah melengkapi kebahagiaan hati
seorang perawan ayu.
”Made....!” suara itu membuyarkan lamunannya.
”Sedang apa kau disini?” Aku sedang menikmati indahnya purnama sidi, sesaat
mereka duduk berdampingan di beranda.
”De.... bukankah malam ini kamu ada pentas?”
”Astaga... jam berapa ini?” Made tersentak kaget, tanpa mempedulikan
Shanty, Made bergegas masuk, membereskan semua kostum tarinya. Secepat kilat
Made melarikan mobilnya menuju sanggar. Wez.z.z.z.z. Angin semakin dingin menusuk. Kemudian Shanty
bergegas masuk. Dirapikannya kembali meja rias Made yang berantakan, begitu
kagetnya ia ketika melihat sebuah tusuk konde Made tercecer di lantai. Dipungutinya tusuk konde itu dan diletakkannya kembali di meja rias.
Terengah-engah Made memasuki ruang rias sanggar.
”Kenapa kau baru datang Made...?”
Satu jam lagi kamu harus sudah siap...! Seorang perias menyambar tangannya.
Dengan gesit perias itu mendandani Made, rambutnya yang panjang, hitam kelam
tersanggul rapi, tapi betapa paniknya ia ketika tak menemukan tusuk kondenya di
dalam tas make up nya.
”Ya... Tuhan, tusuk kondeku ketinggalan...!! Sang perias juga sempat
uring-uringan. Made sempat bingung, dibukanya lagi laci-laci kecil di ruang
rias itu. Ia berharap kalau-kalau ada tusuk konde yang tertinggal. Made lega,
bisa menemukan tusuk konde tapi bukan dari di antara laci-laci itu, tapi ia
menemukannya tertancap di pintu almari sebagai pengunci. Diambilnya tusuk konde
itu hingga pintunya sedikit terbuka.
Pertunjukan seni mulai digelar. Suara dan tepukan tangan begitu riuh
tatkala Made memulai membawakan tariannya dengan lincah dan begitu memukau.
Senyum tipis tersinggung di bibirnya yang merah dan mungil, hingga semua
penonton terpukau.
Purnama makin meninggi, sinarnya menerobos lewat celah dedaunan menerpa
panggung pagelaran. Waktu bergulir terasa cepat dan malam semakin larut,
pagelaran senipun telah berakhir. Made segera membongkar riasannya dan berganti
pakaian, sambil melepas tusuk konde ia berfikir...
”Kenapa tusuk konde sebagus ini hanya pengunci pintu almari yang setua
ini...?”
Ketika ia hendak kembali mengunci pintu almari itu, ia terkesima dengan
sebuah lukisan di dalam almari itu. Seorang wanita ayu yang mengenakan pakaian
tari dan tusuk konde yang sama seperti yang ia kenakan tadi. Sesaat Made
mengamati tusuk konde itu.
”Apakah tusuk konde ini milik wanita ayu yang ada dalam lukisan itu, tapi
kenapa tusuk konde itu bisa berada disini? Terus siapa wanita ayu dalam lukisan
itu?” Begitu banyak pertanyaan yang ada dalam hatinya, hingga dalam perjalanan
pulang pun ia masih tetap saja memikirkan hal itu. Rasa capek, kantuk, tak
dapat lagi ia tahan. Sesaat kemudian, Made sudah terlelap dalam tidurnya.
Dingin.... dan begitu sunyi, desiran angin membuat suatu irama yang indah
saat daun-daun bergesek, wangi dupa dan kembangpun terasa begitu menyengat.
Sayup-sayup Made mendengar seorang wanita memanggil-manggil namanya. Wanita itu
hadir dalam mimpinya. Dia mengenakan pakaian tari. Wajahnya yang tampak pucat
tak seulas senyumpun tersungging, tidak seperti di dalam lukisan yang ia lihat
tadi.
Kring....kring.....kring. Made tersentak bangun ketika jam wekernya
berdering. Tubuhnya basah oleh keringat dan kepalanya terasa berat. Dilihatnya
segelas susu dan sepotong roti di samping meja rias, dalam hati ia bertanya,
kenapa Shanty tidak membangunkannya, kemudian ia menemukan sebuah memo di meja
riasnya.
”De.... maaf, aku tidak membangunkanmu karena kulihat kamu terlau capek dan
pagi ini aku ada janji bertemu dengan klien.”
Kemudian Made bergegas mandi dan berendam mencoba untuk melupakan mimpi
itu. Dengan mengenakan kain sarung dan kebaya, Made menyusuri jalan berbatu
menuju Pure. Sekuntum kembang kamboja terselip di kupingnya dan rambutnya yang
hitam panjang dibiarkan tergerai. Ia mengikuti prosesi sembahyang dengan
khusyuk dan di tengah-tengah doa, tiba-tiba mimpi yang ia alami semalam muncul
lagi dalam benaknya. Tapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan tentang mimpi
itu kepada siapapun termasuk Shanty sahabat karibnya.
Berhari-hari ia dihantui dengan rasa ingin tahu tentang tusuk konde dan
lukisan itu. Dan hampir setiap malam, wanita itu hadir dalam mimplinya. Tapi
berbeda dengan hari sebelumnya. Kali ini ia memimpikan wanita itu
menghampirinya dengan mata melotot, dan telunjuk kirinya menuding-nuding ke
wajah Made. Merasa tak sanggup lagi menahan cerita itu, keesokan harinya,
akhirnya ia menceritakan kepada Shanty.
”San... sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang ini kepadamu”.
”O... jadi itu yang membuatmu bersikap aneh dan sering melamun belakangan
ini?”.
”Ya... begitulah ceritanya, dan aku juga tak tahu siapa ia sebenarnya.”
”De...apa mungkin ini juga ada hubungannya dengan kesurupan kamu tempo
hari? Dan belakangan ini setiap kali kamu pulang dari sanggar, kamu selalu terlihat
murung, terkadang juga marah-marah tidak
jelas.”
Shanty menimpali cerita Made dan menghela nafas panjang,karena tidak tahu
apa yang harus dilakukan untuk menolong sahabatnya itu.
”San.. sore ini kamu mau menemani aku jalan-jalan?”
”Tentu saja De...” sahut Shanty.
Mereka berjalan melewati jalan setapak penuh dengan ilalang tumbuh di kanan
kiri ketika tiba di sebuah tikungan. Made melihat satu sosok wanita tua yang
tidak asing lagi baginya. Ia membawa seikat bunga mawar putih dan kemudian Made
menegurnya.
”Mau kemana Nyi?” suara Made menghentikan langkah Nyi Galuh Parwati.
Seorang wanita tua yang telah lama ia kenal di sanggar.
”Eh... ni Made, ini saya mau ke makam Nyi Mas Ayu Sekarwati dan Tuan Van
Der Hock.”
Sesaat Made mengernyitkan kening, setahu Made, Nyi Galuh tidak mempunyai
anak, lantas siapa Ni Mas Ayu? Dan siapa pula Tuan Van Der Hock itu? Dan apa
hubungan mereka?
Satu pertanyaan lagi bercokol dalam pikirannya. Keesokan harinya, Made
menyempatkan diri menemui Nyi Galuh di rumahnya. Nyi Galuh bergegas membuka
pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi, dan langsung tersenyum ketika
tahu Made yang bertamu. Nyi Galuh mempersilahkan masuk dan duduk, sesaat
kemudian Nyi Galuh sudah membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan
sepiring pisang goreng. Nyi Galuh mulai membuka pembicaraan.
”Tumben sekali Nyi Made datang ke rumah saya, kok wajah Nyi Made juga
terlihat kusut, apa Nyi Made punya masalah? Apa ada yang bisa saya bantu?” Made
bingung harus mulai darimana untuk mengawali cerita itu. Sepatah demi sepatah
kata mulai bercerita.
”Nyi, saya ingin tahu siapa sebenarnya Nyi Mas Ayu Sekarwati dan siapa pula
Tuan Van der Hock itu?”.
Sejenak Nyi Galuh hanya terdiam. Tapi Nyi Galuh tak tega melihat reaksi
wajah Made yang semakin kusut. Perempuan itu akhirnya bercerita.
”Sebenarnya aku tak ingin menceritakan hal ini kepada setiap orang. Karena iyungku
dulu berjanji untuk menjaga rahasia itu”. Meski usia Nyi Galuh sudah cukupl
tua, namun ingatannya masih tetap baik.
”Dulu iyungku juga seorang pelayan sanggar sepertiku, beliau melayani semua
keperluan penari-penari di sanggar dan hubungan Ni Mas Ayu dengan iyungku cukup
dekat. Ni Mas Ayu penari yang sangat cantik, dia juga baik hati. Sampai
akhirnya seorang opsir Belanda jatuh hati kepadanya. Mereka pasangan yang
sangat serasi. Tuan Van der Hock orangnya sangat gagah, dan juga tampan,
rambutnya pirang dan sedikit ikal. Tuan Van der Hock memberikan barang-barang
mewah kepadanya dan seperangkat pakaian tari yang paling ia sukai, dan masih
tersimpan di sanggar. Juga sebuah lukisan Ni Mas Ayu yang ia lukis sendiri.
Tuan Van der Hock juga berencana menikahi Ni Mas Ayu dan akan membawanya pulang
ke negerinya. Tapi ada salah seorang teman Ni Mas Ayu yang tidak suka dengan
hubungan mereka. Hingga akhirnya Tuan Van der Hock dijebak.
Suatu malam pagelaran, Ni Mas Ayu datang terlambat dan ia melihat Tuan Van
der Hock telah mabuk dan bermesraan dengan teman Ni Mas Ayu. Padahal Tuan Van
der Hock sudah berjanji untuk tetap setia dan tidak akan mabuk-mabukan lagi.
Melihat kejadian itu, Ni Mas Ayu langsung naik pitam, diloloskan tusuk konde
dari rambutnya dan ditusukkan tepat didada kiri kekasihnya. Kemudian Tuan Van
der Hock tak sadarkan diri dan akhirnya meninggal. Sedangkan tusuk konde itu
entah dimana. Aku juga belum pernah melihatnya. Sejak saat itu hidup Ni Mas Ayu
terasa hampa. Dia tak pernah lagi datang ke sanggar, apalagi membawakan tarian.
Senyum manisnya telah hilang terkubur bersama kekasihnya. Wajahnya selalu
muram. Hingga suatu hari ia berpesan kepada iyungku, jika ia mati dia ingin
dikubur disisi kekasihnya dan sebelum tusuk konde itu dia temukan, dia tidak
mau diperabukan. ”Jelas Nyi Galuh kepada Made”.
”Nyi, saya pernah melihat lukisan dalam almari tua yang ada di paling
ujunga, dan anehnya almari tua itu tidak ada kuncinya. Hanya rantai kuningan
yang dipasak sebuah tusuk konde”. Ada perasaan lega di hati Made, setidaknya
dia telah menemukan titik terang tusuk konde itu.
”Nyi, apakah selama ini Nyi Galuh pernah memasuki kamar rias sanggar? ”
tanya Made ingin tahu.
”Ya.. pernah tapi saya tidak pernah memperhatikan barang-barang disana.
Saya hanya pelayan luar, mana bisa saya keluar masuk kamar rias seenaknya.
Rasanya Nyi Galuh menolong Made tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Kemudian
Made mencari cara bagaimana agar Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias, tanpa ada
orang yang curiga. Made membisikkan cara itu ke telinga Nyi Galuh, dan Nyi
Galuh mengangguk setuju.
Dua hari kemudian, Made pentas lagi. Made datang agak terlambat dengan
harapan rencananya berhasil. Setengah jam sebelum pagelaran dimulai, Made
pura-pura pingsan, dengan begitu Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias dan
pura-pura memberikan obat. Ketika Nyi Galuh masuk, Made mengerdipkan mata dan
memberi kode untuk membuka almari itu. Sementara yang lain sibuk sendiri. Tusuk
konde itu dicabutnya dari mata rantainya dan almari sedikit terbuka lebar.
Disebelah lukisan itu tertumpuk seperangkat pakaian tari dengan rapi. Perlahan
Nyi Galuh mengeluarkan lukisan itu dari dalam almari. Dia melihat jelas tulisan
”Ni Mas Ayu” dalam lukisan itu. Setelah selesai mengamati lukisan, Nyi Galuh
segera menutup almari dan menguncinya lagi dengan tusuk konde itu.
”Kamu benar Made, lukisan itu memang lukisan Ni Mas Ayu. Sama persis dengan
foro yang ada di rumahku. Kemudian Nyi Galuh segera bergegas keluar dan Made
masih tetap terbaring hingga pagelaran usai.
Hati Made terasa lega sambil mengemasi pakaiannya. Made merencanakan
sesuatu sebelum meninggalkan sanggar. Made sempat menghampiri Nyi Galuh untuk
mengatakan rencana selanjutnya.
”Tapi apa tidak akan jadi pertanyaan jika tusuk konde itu kita ambil Nyi
Made?”. Kemudian Nyi Galuh mengusulkan untuk membuat tusuk konde yang sama
untuk menggantikannya.
Tiga hari kemudian, tusuk konde itu sudah digantikan dengan duplikatnya.
Made memberikan tusuk konde itu kepada Nyi Galuh. Sesaat Nyi Galuh mengamati
dan mencocokkan pada foto yang ia punya.
”Benar, tusuk konde itu memang milik Ni Mas Ayu. Bertahun-tahun Iyungku
mencarinya. Tapi tak pernah ketemu, hingga beliau meninggal.
Ini adalah sekian kalinya Ni Mas Ayu hadir dalam mimpi Made. Kali ini Ni
Mas Ayu memohon kepada Made untuk segera mengadakan upacara Ngaben dan ia juga
meminta agar abu dan tusuk kondenya dibuang di Pantai Ubud dimana dulu Ni Mas
Ayu pertama kali bertemu dengan Tuan Van der Hock. Made mengikuti prosesi
upacara pembakaran jenazah dengan khidmat. Setelah itu, Ni Mas Ayu tidak pernah
hadir dalam mimpinya.
Hari-hari Made kembali terasa indah setelah pembakaran jenazah Ni Mas Ayu
dilaksanakan, segala aktivitas dilakukan dengan penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar