Minggu, 02 Desember 2012

Tusuk Konde Sang Penari


TUSUK KONDE SANG PENARI


Angin senja terasa begitu lembut dan sejuk membawa aroma wangi kembang dan dupa di sepanjang jalan. Lembayung senja memancarkan sinarnya yang keemasan tuk menyambut datangnya malam. Samar-samar sang dewi malam mulai muncul dari balik awan. Purnama yang begitu sempurna dan indah melengkapi kebahagiaan hati seorang perawan ayu.
”Made....!” suara itu membuyarkan lamunannya.
”Sedang apa kau disini?” Aku sedang menikmati indahnya purnama sidi, sesaat mereka duduk berdampingan di beranda.
”De.... bukankah malam ini kamu ada pentas?”
”Astaga... jam berapa ini?” Made tersentak kaget, tanpa mempedulikan Shanty, Made bergegas masuk, membereskan semua kostum tarinya. Secepat kilat Made melarikan mobilnya menuju sanggar. Wez.z.z.z.z. Angin semakin dingin menusuk. Kemudian Shanty bergegas masuk. Dirapikannya kembali meja rias Made yang berantakan, begitu kagetnya ia ketika melihat sebuah tusuk konde Made tercecer di lantai. Dipungutinya tusuk konde itu dan diletakkannya kembali di meja rias.
Terengah-engah Made memasuki ruang rias sanggar.
”Kenapa kau baru datang Made...?”
Satu jam lagi kamu harus sudah siap...! Seorang perias menyambar tangannya. Dengan gesit perias itu mendandani Made, rambutnya yang panjang, hitam kelam tersanggul rapi, tapi betapa paniknya ia ketika tak menemukan tusuk kondenya di dalam tas make up nya.
”Ya... Tuhan, tusuk kondeku ketinggalan...!! Sang perias juga sempat uring-uringan. Made sempat bingung, dibukanya lagi laci-laci kecil di ruang rias itu. Ia berharap kalau-kalau ada tusuk konde yang tertinggal. Made lega, bisa menemukan tusuk konde tapi bukan dari di antara laci-laci itu, tapi ia menemukannya tertancap di pintu almari sebagai pengunci. Diambilnya tusuk konde itu hingga pintunya sedikit terbuka.
Pertunjukan seni mulai digelar. Suara dan tepukan tangan begitu riuh tatkala Made memulai membawakan tariannya dengan lincah dan begitu memukau. Senyum tipis tersinggung di bibirnya yang merah dan mungil, hingga semua penonton terpukau.
Purnama makin meninggi, sinarnya menerobos lewat celah dedaunan menerpa panggung pagelaran. Waktu bergulir terasa cepat dan malam semakin larut, pagelaran senipun telah berakhir. Made segera membongkar riasannya dan berganti pakaian, sambil melepas tusuk konde ia berfikir...
”Kenapa tusuk konde sebagus ini hanya pengunci pintu almari yang setua ini...?”
Ketika ia hendak kembali mengunci pintu almari itu, ia terkesima dengan sebuah lukisan di dalam almari itu. Seorang wanita ayu yang mengenakan pakaian tari dan tusuk konde yang sama seperti yang ia kenakan tadi. Sesaat Made mengamati tusuk konde itu.
”Apakah tusuk konde ini milik wanita ayu yang ada dalam lukisan itu, tapi kenapa tusuk konde itu bisa berada disini? Terus siapa wanita ayu dalam lukisan itu?” Begitu banyak pertanyaan yang ada dalam hatinya, hingga dalam perjalanan pulang pun ia masih tetap saja memikirkan hal itu. Rasa capek, kantuk, tak dapat lagi ia tahan. Sesaat kemudian, Made sudah terlelap dalam tidurnya.
Dingin.... dan begitu sunyi, desiran angin membuat suatu irama yang indah saat daun-daun bergesek, wangi dupa dan kembangpun terasa begitu menyengat. Sayup-sayup Made mendengar seorang wanita memanggil-manggil namanya. Wanita itu hadir dalam mimpinya. Dia mengenakan pakaian tari. Wajahnya yang tampak pucat tak seulas senyumpun tersungging, tidak seperti di dalam lukisan yang ia lihat tadi.
Kring....kring.....kring. Made tersentak bangun ketika jam wekernya berdering. Tubuhnya basah oleh keringat dan kepalanya terasa berat. Dilihatnya segelas susu dan sepotong roti di samping meja rias, dalam hati ia bertanya, kenapa Shanty tidak membangunkannya, kemudian ia menemukan sebuah memo di meja riasnya.
”De.... maaf, aku tidak membangunkanmu karena kulihat kamu terlau capek dan pagi ini aku ada janji bertemu dengan klien.”
Kemudian Made bergegas mandi dan berendam mencoba untuk melupakan mimpi itu. Dengan mengenakan kain sarung dan kebaya, Made menyusuri jalan berbatu menuju Pure. Sekuntum kembang kamboja terselip di kupingnya dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergerai. Ia mengikuti prosesi sembahyang dengan khusyuk dan di tengah-tengah doa, tiba-tiba mimpi yang ia alami semalam muncul lagi dalam benaknya. Tapi ia memutuskan untuk tidak menceritakan tentang mimpi itu kepada siapapun termasuk Shanty sahabat karibnya.
Berhari-hari ia dihantui dengan rasa ingin tahu tentang tusuk konde dan lukisan itu. Dan hampir setiap malam, wanita itu hadir dalam mimplinya. Tapi berbeda dengan hari sebelumnya. Kali ini ia memimpikan wanita itu menghampirinya dengan mata melotot, dan telunjuk kirinya menuding-nuding ke wajah Made. Merasa tak sanggup lagi menahan cerita itu, keesokan harinya, akhirnya ia menceritakan kepada Shanty.
”San... sebenarnya sudah lama aku ingin bercerita tentang ini kepadamu”.
”O... jadi itu yang membuatmu bersikap aneh dan sering melamun belakangan ini?”.
”Ya... begitulah ceritanya, dan aku juga tak tahu siapa ia sebenarnya.”
”De...apa mungkin ini juga ada hubungannya dengan kesurupan kamu tempo hari? Dan belakangan ini setiap kali kamu pulang dari sanggar, kamu selalu terlihat murung, terkadang juga marah-marah  tidak jelas.”
Shanty menimpali cerita Made dan menghela nafas panjang,karena tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong sahabatnya itu.
”San.. sore ini kamu mau menemani aku jalan-jalan?”
”Tentu saja De...” sahut Shanty.
Mereka berjalan melewati jalan setapak penuh dengan ilalang tumbuh di kanan kiri ketika tiba di sebuah tikungan. Made melihat satu sosok wanita tua yang tidak asing lagi baginya. Ia membawa seikat bunga mawar putih dan kemudian Made menegurnya.
”Mau kemana Nyi?” suara Made menghentikan langkah Nyi Galuh Parwati. Seorang wanita tua yang telah lama ia kenal di sanggar.
”Eh... ni Made, ini saya mau ke makam Nyi Mas Ayu Sekarwati dan Tuan Van Der Hock.”
Sesaat Made mengernyitkan kening, setahu Made, Nyi Galuh tidak mempunyai anak, lantas siapa Ni Mas Ayu? Dan siapa pula Tuan Van Der Hock itu? Dan apa hubungan mereka?
Satu pertanyaan lagi bercokol dalam pikirannya. Keesokan harinya, Made menyempatkan diri menemui Nyi Galuh di rumahnya. Nyi Galuh bergegas membuka pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi, dan langsung tersenyum ketika tahu Made yang bertamu. Nyi Galuh mempersilahkan masuk dan duduk, sesaat kemudian Nyi Galuh sudah membawa nampan berisi dua cangkir teh panas dan sepiring pisang goreng. Nyi Galuh mulai membuka pembicaraan.
”Tumben sekali Nyi Made datang ke rumah saya, kok wajah Nyi Made juga terlihat kusut, apa Nyi Made punya masalah? Apa ada yang bisa saya bantu?” Made bingung harus mulai darimana untuk mengawali cerita itu. Sepatah demi sepatah kata mulai bercerita.
”Nyi, saya ingin tahu siapa sebenarnya Nyi Mas Ayu Sekarwati dan siapa pula Tuan Van der Hock itu?”.
Sejenak Nyi Galuh hanya terdiam. Tapi Nyi Galuh tak tega melihat reaksi wajah Made yang semakin kusut. Perempuan itu akhirnya bercerita.
”Sebenarnya aku tak ingin menceritakan hal ini kepada setiap orang. Karena iyungku dulu berjanji untuk menjaga rahasia itu”. Meski usia Nyi Galuh sudah cukupl tua, namun ingatannya masih tetap baik.
”Dulu iyungku juga seorang pelayan sanggar sepertiku, beliau melayani semua keperluan penari-penari di sanggar dan hubungan Ni Mas Ayu dengan iyungku cukup dekat. Ni Mas Ayu penari yang sangat cantik, dia juga baik hati. Sampai akhirnya seorang opsir Belanda jatuh hati kepadanya. Mereka pasangan yang sangat serasi. Tuan Van der Hock orangnya sangat gagah, dan juga tampan, rambutnya pirang dan sedikit ikal. Tuan Van der Hock memberikan barang-barang mewah kepadanya dan seperangkat pakaian tari yang paling ia sukai, dan masih tersimpan di sanggar. Juga sebuah lukisan Ni Mas Ayu yang ia lukis sendiri. Tuan Van der Hock juga berencana menikahi Ni Mas Ayu dan akan membawanya pulang ke negerinya. Tapi ada salah seorang teman Ni Mas Ayu yang tidak suka dengan hubungan mereka. Hingga akhirnya Tuan Van der Hock dijebak.
Suatu malam pagelaran, Ni Mas Ayu datang terlambat dan ia melihat Tuan Van der Hock telah mabuk dan bermesraan dengan teman Ni Mas Ayu. Padahal Tuan Van der Hock sudah berjanji untuk tetap setia dan tidak akan mabuk-mabukan lagi. Melihat kejadian itu, Ni Mas Ayu langsung naik pitam, diloloskan tusuk konde dari rambutnya dan ditusukkan tepat didada kiri kekasihnya. Kemudian Tuan Van der Hock tak sadarkan diri dan akhirnya meninggal. Sedangkan tusuk konde itu entah dimana. Aku juga belum pernah melihatnya. Sejak saat itu hidup Ni Mas Ayu terasa hampa. Dia tak pernah lagi datang ke sanggar, apalagi membawakan tarian. Senyum manisnya telah hilang terkubur bersama kekasihnya. Wajahnya selalu muram. Hingga suatu hari ia berpesan kepada iyungku, jika ia mati dia ingin dikubur disisi kekasihnya dan sebelum tusuk konde itu dia temukan, dia tidak mau diperabukan. ”Jelas Nyi Galuh kepada Made”.
”Nyi, saya pernah melihat lukisan dalam almari tua yang ada di paling ujunga, dan anehnya almari tua itu tidak ada kuncinya. Hanya rantai kuningan yang dipasak sebuah tusuk konde”. Ada perasaan lega di hati Made, setidaknya dia telah menemukan titik terang tusuk konde itu.
”Nyi, apakah selama ini Nyi Galuh pernah memasuki kamar rias sanggar? ” tanya Made ingin tahu.
”Ya.. pernah tapi saya tidak pernah memperhatikan barang-barang disana. Saya hanya pelayan luar, mana bisa saya keluar masuk kamar rias seenaknya. Rasanya Nyi Galuh menolong Made tapi ia tak tahu bagaimana caranya. Kemudian Made mencari cara bagaimana agar Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias, tanpa ada orang yang curiga. Made membisikkan cara itu ke telinga Nyi Galuh, dan Nyi Galuh mengangguk setuju.
Dua hari kemudian, Made pentas lagi. Made datang agak terlambat dengan harapan rencananya berhasil. Setengah jam sebelum pagelaran dimulai, Made pura-pura pingsan, dengan begitu Nyi Galuh bisa masuk ke kamar rias dan pura-pura memberikan obat. Ketika Nyi Galuh masuk, Made mengerdipkan mata dan memberi kode untuk membuka almari itu. Sementara yang lain sibuk sendiri. Tusuk konde itu dicabutnya dari mata rantainya dan almari sedikit terbuka lebar. Disebelah lukisan itu tertumpuk seperangkat pakaian tari dengan rapi. Perlahan Nyi Galuh mengeluarkan lukisan itu dari dalam almari. Dia melihat jelas tulisan ”Ni Mas Ayu” dalam lukisan itu. Setelah selesai mengamati lukisan, Nyi Galuh segera menutup almari dan menguncinya lagi dengan tusuk konde itu.
”Kamu benar Made, lukisan itu memang lukisan Ni Mas Ayu. Sama persis dengan foro yang ada di rumahku. Kemudian Nyi Galuh segera bergegas keluar dan Made masih tetap terbaring hingga pagelaran usai.
Hati Made terasa lega sambil mengemasi pakaiannya. Made merencanakan sesuatu sebelum meninggalkan sanggar. Made sempat menghampiri Nyi Galuh untuk mengatakan rencana selanjutnya.
”Tapi apa tidak akan jadi pertanyaan jika tusuk konde itu kita ambil Nyi Made?”. Kemudian Nyi Galuh mengusulkan untuk membuat tusuk konde yang sama untuk menggantikannya.
Tiga hari kemudian, tusuk konde itu sudah digantikan dengan duplikatnya. Made memberikan tusuk konde itu kepada Nyi Galuh. Sesaat Nyi Galuh mengamati dan mencocokkan pada foto yang ia punya.
”Benar, tusuk konde itu memang milik Ni Mas Ayu. Bertahun-tahun Iyungku mencarinya. Tapi tak pernah ketemu, hingga beliau meninggal.
Ini adalah sekian kalinya Ni Mas Ayu hadir dalam mimpi Made. Kali ini Ni Mas Ayu memohon kepada Made untuk segera mengadakan upacara Ngaben dan ia juga meminta agar abu dan tusuk kondenya dibuang di Pantai Ubud dimana dulu Ni Mas Ayu pertama kali bertemu dengan Tuan Van der Hock. Made mengikuti prosesi upacara pembakaran jenazah dengan khidmat. Setelah itu, Ni Mas Ayu tidak pernah hadir dalam mimpinya.
Hari-hari Made kembali terasa indah setelah pembakaran jenazah Ni Mas Ayu dilaksanakan, segala aktivitas dilakukan dengan penuh semangat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar